Jumat, 14 Juni 2013

JAM DUNIA

IMAM MUSLIM RAHIMAHULLAHU

Biografi Imam Muslim

Share on :

Imam Muslim


Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.

Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.

Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.

Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.

Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.

Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.

Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.

Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).

Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari

Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.

Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.

Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.

Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. "Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits," pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.

Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.

Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, "Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."

Kitab Shahih Muslim


Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.

Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.

Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.

Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.

Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.


Antara al-Bukhari dan Muslim


Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.

Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.

Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.

Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.

Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.

Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.

Karya-karya Imam Muslim


Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.

Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.

Wafatnya Imam Muslim

Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.
Sumber:    - http://members.tripod.com/
                - http://www.kotasantri.com/

Selasa, 19 Februari 2013

Belajar Tauhid


Belajar Tauhid

Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi Takwil Para Pengingkar Sifat ‘Uluw

Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi...
1
Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi Takwil Para Pengingkar Sifat ‘Uluw
Oleh: DR. Alimusri Semjan Putra, MA
Para pembaca yang dirahmati Allah! Semoga petunjuk Allah senantiasa tercurah kepada kita semua.
Pada bahsan yang lalu kita telah menjelaskan tentang jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhadap Syubhat ’Aqliyah (argumen logika) para pengingkar sifat ’Uluw. Sebagai kelanjutan dari pembahasan tersebut, bagaimana pula jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhada Syubhat Naqliyah (argumen takwil) para pengingkar sifat ‘uluw terhadap ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut bagi Allah?
Ada dua cara yang dilakukan oleh para pengingkar sifat ‘Uluw terhadap nash-nash yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah:
Cara Pertama: Mereka mencoba menolak dalil-dalil yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah dengan cara mentafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) dan mengingkari makna yang terkandung lafaz secara zohir. Sebahagian mereka menisbahkan cara ini kepada para ulama salaf. Mereka tidak bisa membedakan antar tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf dengan tafwidh yang pahami oleh Ahlul kalam. Tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf adalah dalam masalah kaifiyah (bentuk /hakikat) tentang sifat tersebut bukan makna dari sifat. Adapun tafwidh yang pahami oleh Ahlul kalam adalah tafwidh terhadap makna sifat.
Tentang kebatilan manhaj Tafwidh yang dipahami oleh Ahlul kalam sudah pernah kita jelaskan dalam pembahasan tentang kaedah-kaedah dalam memahami nash-nash sifat. Secara ringkas dapat kita sebutkan kembali di sini sisi-sisi kebatilan mahaj Ahlul Tafwidh;
  1. Mereka telah menutup jalan yang paling utama untuk mengenal Allah, yaitu melalui nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Karena menurut Ahlu Tafwidh nash-nash sifat tersebut tidak bisa dipahami dan tidak dimengerti makna dan maksudnya.
  2. Menurut mereka Al Qur’an tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mengenal Allah, karena menurut mereka ayat-ayat sifat tersebut adalah lafaz-lafaz yang tidak diketahui maknanya.
  3. Mereka telah menuduh -tanpa mereka sadari- bahwa Nabi r dan para sahabat y dalam membaca ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah mereka tidak memahaminya dan tidak mengetahui maknanya. Ini adalah prasangka yang amat buruk kepada Nabi r dan para sahabat mulia y.
Cara Kedua: Mereka mentakwil ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut.
Namun bila kita cermati sesungguhnya takwil-takwil yang mereka sebutkan sangat bertolak belakang dengan maksud dari nash-nash tersebut, bahkan terkesan mereka telah mempermainkan ayat-ayat Allah atau hadits-hadits Rasulullah r. Sebelum kita masuk kepada topik pembahasan takwil para Ahli kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw, ada baiknya terlebih dahulu kita kemukakan penjelasan para ulama tentang pengertian takwil secara ringkas.
Takwil dalam penjelasan para ulama memiliki tiga pengertian[1]:
Pertama takwil bermakna: tafsir, pengertian takwil dengan makna ini sangat masyhur dikalangan ulama salaf dan sangat banyak terdapat dalam ungkapan para ulama ahli tafsir yang terdahulul (mutaqaddimin).
Seperti yang terdapat dalam do’a Nabi r untuk sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas t:
“اللهم فقهه في الدين، وعلمه التأويل”
“Ya Allah! Pahamkanlah ia tentang agama dan ajarkan kepadanya takwil (tafsir)” [2]
Demikian pula ungkapan Imam Thobary -yang digelari sebagai imam mufassirin- berulang kali menggunakan kata takwil untuk makna tafsir dalam kitab tafsir beliau yang monumental “Jaami’ul Bayaan“:      ”“القول في تأويل قوله تعالى
“Penjelasan tentang takwil (tafsir) firman Allah Ta’alaa“.
Kedua takwil bermakna: hakikat tentang sesuatu perkara/kejadian, sebagaimana hakikat dari mimpi nabi Yusuf u, ketika beliau melihat sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud kepadanya. Lalu mimpi tersebut terbukti setelah beberapa waktu kemudian, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
{ وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا} [يوسف/100]
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) menundukkan diri seraya bersujud kepada Yusuf. Dan berkatalah Yusuf: “Wahai ayahku inilah takwil mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”.
Makna yang kedua ini juga makna yang sering dipergunakan oleh para ulama salaf dalam ungkapan mereka.
Ketiga takwil bermakna: memalingkan lafaz dari maknanya yang zohir kepada makna lain karena adanya qorinah (dalil) yang membolehkannya. Takwil dengan pengertian ini hanya dikenal dikalangan para ulama yang zaman terakhir (muta-akhirin) secara khusus lebih banyak dipergunakan oleh para ulama ahli ushul fiqh. Para ulama yang memakai takwil untuk makna ini menetukan syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk melakukan takwil terhadap sebuah nash/dalil.
Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Penentuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus ada qorinah/dalil lain yang mendukungnya, baik dalil syar’i atau dalil lughawi (bahasa).
Maka seseorang tidak boleh mentakwil hanya sekedar berdasarkan kepada logikanya semata, dan mengabaikan dalil-daliil yang lain, karena hal tersebut akan menimbulkan kontradiksi /kerancuan dalam memahami nash-nash agama.
  1. Penetuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus memperhatikan gramatika bahasa Arab serta memperhatikan susunan rangkaian kata-kata dari sebuah lafaz dan kalimat.
Dalam bahasa Arab sebuah kata bisa memiliki bebrapa makna, seperti kata ‘Ainun bisa berarti mata yang dapat melihat, dan bisa berarti mata air, atau berarti jasus (intel) dan bisa juga berarti bagian dari sesuatu untuk diteliti di labor. Yang dapat menetukan makna yang sebenarnya adalah tergantung dari gramatika dan susunan rangkaian kata yang terdapat dalam sebuah ungkapan.
  1. Makna yang menjadi pilihan dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat haruslah diantara makna-makna yang tercakup dan terkandung dalam lafaz/kalimat tersebut dalam bahasa Arab.
Maka tidak boleh mentakwilkan sebuah lafaz dengan kata yang tidak tercakup dalam makna lafaz tersebut. Seperti takwilan orang-orang bathiniyah terhadap lafaz puasa dengan makna menjaga rahasia guru-guru mereka.
  1. Tidak terdapat dalil lain yang menolak lebih kuat terhadap makna yang ditakwilkan tersebut, baik dalil syar’i maupun dalil lughawi (garamatika bahas Arab).
Seperti mentakwilkan kata tangan dengan qudrat dalam firman Allah berikut ini:
{قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ} [ص/75]
“Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku?.
Seandainya kata tangan ditakwil dengan qutrat, berarti qudrat Allah ada dua! karena kata tangan dalam ayat di atas dikaitkan dengan bilangan dua. Kemudian jika tangan diartikan qutrat berarti tidak ada keistimewaan Adam dari Iblis karena Iblis juga diciptakan dengan qudrat Allah.
Jika salah satu syarat yang kita sebutkan di atas tidak terpenuhi maka takwil tersebut dinilai sebagai takwil fasid (cacat). Takwil dalam pengertian terakhir ini yang selalu menjadi perdebatan kalangan para ulama. Karena takwil dalam pengertian ini bisa benar atau bisa salah, dan bahkan bisa menimbulkan kesesatan dalam agama. Konsep takwil seperti ini sering dipergunakan oleh para pengingkar sifat-sifat Allah dalam argumentasi mereka, sebagaimana yang akan kita jelaskan pada berikutnya nanti. Alat untuk mengukur dan memastikan kebenaran takwil tersebut adalah dengan merujuk kepada pemahaman para ulama salaf dalam memahami nash /dalil.
Takwil-takwil Ahlul kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw
Pada berikut ini kita kemukakan beberapa takwil yang digunakan Ahlul kalam dalam mengingkari sifat-sifat Allah subhaanahu wata’alaa  yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, secara khusus sifat ‘Uluw.
Pertama: Mentakwil nash-nas yang menunjukkan tentang sifat ‘Uluw dan Fauqiyyah (Allah di atas seluruh zat makhluk) dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan (rutbah dan qohhar).
Mereka mencontohkannya dalam ungkapan seseorang: “emas lebih tinggi dari perak”, “ketua lebih tinggi dari wakilnya”. Ketinggian yang dimaksud dalam ungkapan tersebut adalah ketinggian nilai dan kekuasaan, bukan ketinggian zat masing-masing di atas yang lainnya. Demikian analogi yang mereka pakai dalam mentakwil nash-nash yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah subhaanahu wata’alaa.
Sebagai contoh firman Allah:    {أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاء} [الملك/16]
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit”
Maka menurut pemahaman Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari langit atau Allah lebih berkuasa dari langit. Bukan berarti Allah berada di atas langit.
Contoh lain firman Allah:    {يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ} [النحل/50]
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka
Menurut Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari mereka atau Allah lebih berkuasa dari mereka. Bukan berarti Allah berada di atas mereka.
Maka mereka tidak mengimani bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, akan tetapi mereka hanya membatasi keimanan pada bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Mulia di atas seluruh makhlukn-Nya.
Adapun Ahlussunnah mengimani seluruh bagian dari makna ‘uluw secara mutlak bagi Allah, baik dari segi zat maupun sifat-sifat-Nya termasuk sifat Maha Kuasa dan sifat Maha Mulia.
Jawaban Ahlussunnah:
Jika kita cermati takwil mereka terhadap sifat ‘Uluw dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan seperti dalam dua ayat di atas memiliki kesalahan dari beberapa sisi:
  1. Mentakwil nash-nas ‘Uluw dengan makna Maha Mulia dan Maha Kuasa tidak sesuai dengan gramatika yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Karena ayat-ayat tersebut tidak berbicara tentang konteks perbandingan kelebihan Allah di atas makhluk-Nya dalam segi kekuasan dan kemulian. karena tidak ada sedikitpun kedekatan antara Allah dan makhluk dalam hal tersebut! Hal tersebut sama dengan ungkapan seseorang: “permata lebih tinggi nilainya dari kulit bawang” atau “pedang lebih tajam dari pada tongkat”. Bila ada seseorang yang berkata demikian sungguh semua orang akan ketawa mendengarkannya. Karena hal tiu tidak perlu dibandingkan sebab begitu jauh perbedaan anatar keduanya. Ungkapan tersebut adalah sesuatu yang sia-sia, apalagi perbandingan kemulian dan kekuasaan Allah dengan kemulian dan kekuasaan makhluk! Sesungguhnya Allah Maha Suci dari segala perkataan yang sia-sia.
  2. Allah tidak pernah dalam memuji diri-Nya baik dalam Al Qur’an maupun melalui sabda Rasul r, bahwasanya Dia (Allah) lebih mulia dari ‘Arasy, atau lebih baik dari langit. Akan tetapi perbandingan yang sering disebutkan dalam Al Qur’an tentang sesembahan dari selain Allah manakah yang lebih baik dari Allah? Seperti dalam firman Allah:
{أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ} [يوسف/39، 40]
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
  1. Nash-nash yang menyatakan tentang sifat ‘Uluw (keMahatinggian Zat Allah) di atas seluruh makhluk-Nya diungkapkan dalam berbagai redaksi dan sinonim yang menafikan takwil terhadap sifat tersebut.
Sebagai contoh firman Allah:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُه}ُ [فاطر/10]
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh Ia angkat kepada-Nya“.
Dan firman Allah:    {بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْه} [النساء/158]
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya“.
Kata-kata; naik dan diangkat dalam dua ayat tersebut sangat jelas lafaz yang menunjukan posisi dari bawah ke atas dan tidak mungkin ditakwil lagi dengan ketinggian nilai dan kekuasaan atau makna-makna lain yang mau dicari oleh Ahlu Takwil.
Kedua: Mereka mentakwil lafaz Istawaa (استوى) yang terdapat dalam Al Qur’an dengan makana Istawlaa  (استولى).
Dianatara dalil yang menyatakan bahwa Allah bersifat ‘Uluw adalah ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah beristiwaa di atas ‘Arasy. Sebagaimana telah kita jelaskan permasalahan ini dalam pembahasan tentang dalil-dalil ‘Uluw dari ayat-ayat Al Qur’an. Namun orang-orang Ahlul kalam berusaha menolak makna Istiwaa dengan cara mentakwilnyat dengan makna istilaa (berkuasa).
Jawaban Ahlussunnah:
  1. Garamatika penggunaan lafaz istiwaa dalam bahasa Arab ada dua bentuk:
    1. Mutlak yaitu penggunaannya tidak dihubungkan dengan huruf bantu .
    2. Muqayyad yaitu penggunaannya dihubungkan dengan huruf bantu .
Ketika lafaz istiwaa dalam gramatika Mutlak berbeda maknanya ketika berrada dalam gramatika Muqayyad, begitu pula dalam garamatika Muqayyad dengan huruf tertentu maka maknanya bisa sama atau bebrbeda bila saat Muqayyad dengan huruf yang lain.
Bila lafaz istiwaa berada dalam gramatika Mutlak maka ia bermakna: sempurna atau matang (كمل وتمّ) . seperti diungkapkan dalam bahasa Arab:   (استوى النبات، واستوى الطعام) atinya: tanaman itu telah tumbuh sempurna dan makanan itu telah matang.
Adapun lafaz istiwaa yang Muqayyat dengan huruf, ia berada dalam tiga gramatika:
  1. Digabung dengan huruf banru Ilaa (إلى) seperti dalam ungkapan berikut:  استوى فلان إلى السطح artinya: Sipulan naik ke atas loteng”. Untuk gramatika ini terdapat dalam Al Qur’an dalam dua ayat:
Pertama dalam firman Allah:
{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ} [البقرة/29]
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit”.
Kedua dalam firman Allah:    {ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ} [فصلت/11]
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap“.
Dalam konteks ini istawaa mennjukkan dua Makna:  قصد (bermaksud) dan makna علا وارتفع (tinggi/ di atas) untuk menetukkan makna yang tepat dari dua makna tersebut dilihat dari sisi gramatikanya, sebagaimana dalam contoh di atas.
  1. Digabung dengan huruf bantu ‘Alaa (على) sebagaimana dalam beberpa ayat berikut:
Pertama dalam firman Allah:         {وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ} [هود/44]
“Dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi
Kedua firman Allah:                          {لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ} [الزخرف/13]
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya“.
Ketiga firman Allah:                             {فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ} [الفتح/29]
“Tegak lurus di atas rumpunnya”.
Dalam konteks ini dalam semua nash istawaa menunjukkan makna علا وارتفع (tinggi/ di atas) dan tidak bisa tawil dengan makna dari selain itu. Dalam sifat Istiwaa Allah terdapat tujuh ayat[3] yang muqayyad dengan huruf ‘Alaa (على) sebagaimana telah jelaskan ketika membahas dalil-dalil ‘Uluw dalam Al Qur’an.
Bila kita cermati semua nash yang menunjukkan tentang Istiwaa Allah hanya berada dalam hal yaitu: muqayyad dengan huru  Ilaa (إلى) atau huruf  ‘Alaa (على) saja.
  1. Digabung dengan huruf penghubung Waaw  (واو) yang menunjukkan akan makna maf’ul ma’ah (kesamaan /sebanding) seperti ungkapan seseorang:   (استوى الماء والخشبة)  artinya air dan kayu sejajar.
Jika kita cermati lafaz Istawaa (استوى) dalam dari berbagai gramatika bahasa Arab tidak ada satupun yang bermakna Istawlaa (استولى) dan tidak ada satupun dari ulama pakar bahasa arab yang terpercaya menyebutkannya.
Seorang ulama pakar bahasa Arab yaitu Khalil bin Ahmad pernah ditanya: apakah engkau pernah menemukan dalam bahasa Arab Istawaa (استوى) dengan makna Istawlaa (استولى)? Beliau menjawab: “ini adalah sesuatu yang tidak pernah dikenal orang Arab dan tidak pernah digunakan dalam bahasa mereka”[4].
  1. Istawaa (استوى) dan Istawlaa (استولى) adalah dua kata yang berbrbeda dari sisi lafaz dan makna. Karena tidak penah ditemukan penggunaan Istawlaa (استولى) dalam Al Qur’an dan sunnah maupun dalam bahasa Arab untuk menunjukkan makna Istawaa (استوى), ini membuktikan bahwa lafaz Istawaa (استوى) tidak boleh ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى),  kalau hal tesebut diperbolehkan tentu akan terdapat penggunaan kedua lafaz tersebut saling bergantian.
Andaikan lafaz Istawlaa (استولى) disebutkan dalam Al Qu’an, namun bila dibandingkan lafaz Istawaa (استوى) jumlahnya lebih banyak disebutkan umpamanya, tentu yang seharusnya dilakukan adalah menggunakan makna Istawaa (استوى) untuk lafaz Istawlaa (استولى), bukan sebaliknya! Apalagi kenyataanya justru lafaz Istawlaa (استولى) tidak pernah penah disebut dalam Al Qur’an, lalu dari mana bisa kita bisa menjadikan makna Istawlaa (استولى) sebagai takwil bagi lafaz Istawaa (استوى)?
  1. Bila Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) hal tersebut akan melazimkan kerancuan dalam makna dan dalam pemahaman kaum muslimin. Hal tersebut ditinjau dari beberapa segi:
    1. Tatanan gramatika bahasa Arab, kalimat Istawaa (استوى) didahului oleh kata penghubung Tsumma (ثم) yang menunjukkan runtutan kejadian /peristiwa (tartib).
Sebagaimana dalam firman Allah:
{اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} [السجدة/4]
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy“.
Bila lafaz Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) berarti ‘Arsy sebelumn pencitaan langit dan bumi berada di luar kekuasaan Allah. Lalu ‘Arasy tersebut di bawah kekuasaan siapa sebelumnya? Karena arti dari makna Istawlaa (استولى) itu menguasai  jauh beda dengan makna Istawaa (استوى).
  1. Bila Bila lafaz Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) berarti ada yang berusaha menguasai ‘Arasy dari selain Allah! karena penggunaan lafza Istawlaa (استولى) dalam bahsa Arab adalah untuk menunjukkan dua pihak yang saling berebut menguasai sesuatu, bila salah satu di anatara keduanya dapat mengalahkan yang lainnya maka ia disebut menguasanya (عليه استولى). Apakah ada yang berusaha merebut ‘Arasy dari kekuasaan Allah sebelumnya? Bila ada di anatara manusia yang berasumsi demikian sesunggunya ia telah jatuh kedalam kesesatan yang nyata.
  1. Jika lafaz Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) yang artinya menguasai. Melazimkan para Ahlu Takwil memilih salah satu dari dua pilihan yang kedua-duanya bagaikan memakan buah simalakama:
  1. Berarti boleh dikatakan oleh seseorang bahwa Allah Istiwaa (استواء) di atas gunung, di atas pohon, dan di atas semua makhluk yang ada di muka bumi. Karena kekuasaan tidak terbatas atas ‘Arasy saja. Lalu apa artinya Allah mengkhusus ‘Arasy dengan sifat istiwaa (استواء) dalam setiap ayat dalam Al Qu’an!?
  2. Atau Allah hanya mengusai ‘Arasy saja setelah menciptakan langit dan bumi, karena Allah mengkhusus ‘Arasy dengan sifat istiwaa (استواء) dalam setiap ayat dalam Al Qu’an!? Lalu siapa yang menguasai langit dan bumi kalau bukan Allah!?
Kesimpulanya lafaz Istawaa (استوى) tidak bisa ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) karena kedua saling berbeda dilalahnya menurut syara’ dan lughah.
  1. Jika lafaz Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) ini adalah tahrif  (penyelewengan) terhadap kalam Allah. Seperti perbuatan orang-orang Bani Irail ketika diperintahkan Allah untuk mengucapkan Hiththoh (ampunan) mereka menukar ucapan tersebut dengan kata Hinthoh (gandum).
Sebagaimana diceritakan dalam firman Allah:
{وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ (58) فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ} [البقرة/58، 59]
“Dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (kebaikan) kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-orang yang zalim mengganti ucapan yang tidak dikatakan kepada mereka“.
Maka orang yang suka metakwil kalam Allah adalah telah meniru kebiasaan orang-orang Bani Israil yang telah merubah-rubah kalam Allah yang diturunkan kepada mereka. Oleh sebab itu ulama kita mengatakan Laam  (ل) yang ditambahkan oleh Ahlu Kalam terhadap lafaz (استوى) sehinggga menjadi (استولى) sama dengan perbuatan orang Bani Israil yang menambah Nuun (ن) terhadap kalimat (حطّة) sehingga menjadi (حنطة).
  1. Alasan utma orang Ahlul kalam mentakwil lafaz Istawaa (استوى) dengan makna Istawlaa (استولى) adalah takut terjatuh kedalam aqidah Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Akan tetapi dalam kenyataannya justru mereka terjatuh pada lubang yang mereka gali sendiri, karena makhluk juga memilki sifat Istawlaa (استولى). Jika mereka menetapkan sifat Istawlaa (استولى) bagi Allah berarti mereka juga menyerupakan Allah dengan makhluk. Bahkan lebih keliru lagi ketika mereka mentakwil sifat Allah dengan makna yang tidak pantas dinisbahkan kepada Allah. Karena  Istawlaa (استولى) maknanya menyadingkan Allah dengan makhluk dalam berebut menguasai ‘Arasy. Oleh sebab itu Allah tidak pernah menisbahkan sifat tersebut kepada diri-Nya dalam Al Qu;an, demikian pula Rasulullah r dalam sabdanya.
Di sini mereka harus mengakui kebenaran pandangan Ahlussunnah tentang sifat Istiwaa’ (استواء): bahwa Allah beristiwaa di ‘Arasy sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak sama seperti beristiwaa’nya makhluk.
  1. Takwil yang dilakukan oleh Ahlul kalam terhadap ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw adalah takwil yang cacat hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat dan kriteria yang ditetukan oleh para ulama sebagaimana yang kita sebutkan di awal bahasan ini. Bahkan Tidak ditemukan seorang pun dari para sahabat dan para ulama salaf dikalangan umat ini yang mentakwil ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw bagi Allah. Kecuali mereka yang terpengaruh dengan aqidah filsafat Yunani.
  2. Sebagai pemungkas untuk orang-orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abu hasan Asy’ari. Di sini kami sebutkan bantahan beliau terhadap orang yang mentakwil lafaz (استوى) dengan makna (استولى) dalam kitab munumental beliau “Al Ibaanah“[5]: “Sesungguhnya orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyah dan Haruriyah berpendapat bahwa firman Allah:  {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه/5]
“Tuhan Yang Maha Pemurah beristiwaa’ di atas ‘Arsy“.
Menurut mereka makna  (استوى) adalah menguasai  (وملك وقهر استولى) dan zat Allah berada disetiap tempat. Mereka mengikari bahwa Allah berada di atas ‘Arasy sebagaimana yang diyakini oleh Ahlul Haq, mereka mengartikan Istiwaa’ dengan Qudrah.
Kalau benar apa yang mereka sebutkan tentu tidak ada perbedaanya antara ‘Arasy dengan bumi yang dilapisan ketujuh! Karena segala sesuatu berada di bawah kekuasan Allah. Bumi, tempat buang kotoran dan segala yang di dalam alam ini adalah di bawah kekuasaan Allah. Jika istiwaa’ Allah di atas ‘Arasy diartikan istilaa’  tentu Allah itu beristiwaa’ di atas segala sesuatu?! berarti Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy, bumi, langit, tempat buang hajat dan di atas segala tempat yang kotor?! Karena Zat Yang kuasa atas segala sesuatu  berarti Ia telah memilikinya (مستول عليه). Sekalipun Allah menguasai segala sesuatu, namun tidak ada seorangpun dari kalangan kaum muslimin yang membolehkan ungkapan: Allah beristiwaa’ di atas  tempat buang hajat dan kotoran…”.
“Asumsi orang-orang Mu’tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah bahwa zat Allah berada disetiap tempat, melazimkan Allah berada dalam perut Maryam, tempat buang kotoran dan tempat buang hajat, hal ini adalah bertentangan dengan agama”. Hal ini juga melazimkan Allah berada diantara diantara langit dan bumi, dianatara dua langit dan dianatara dua lapis bumi, ini senua merupakan kemustahilan dan saling bertentangan”.
Demikian bantahan Imam Abu Hasan Asy’ary secara ringkas. Semoga orang-orang Asyaa’irah yang mengaku sebagai pengikut beliau mau menerima keyakinan imam mereka dan meninggalkan keyakinan orang-orang Mu’Tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah.
Wallahu A’lam wa Ahkam


[1]  Penjelasan lebih luas tentang hal ini dapat dilihat dalam kitab “Jinayah at Takwil al Faasid” karangan Dr. Muhammad Ahmad Luh, MA. Dan kita-kitab ‘Ulumuttafsir.
[2]  H.R. Imam Ahmad no (2397), dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bany dalam “silsilah shohihah” no (2589).
[3]   Lihat: Q.S. Al A’raaf: (54), Yunus: (3), Thohaa: (5), Ar Ra’d: (2), Al Furqon: (59), As Sajdah: (4), Fushshilat: (11).
[4]   Lihat: Aqoowiil Ats Tsiqqoot karangan Al karmy, hal: 124.
[5]   Lihat: ‘Al Ibaanah”, hal: 98-99.

Menuju Blog Direktori Salafy Indonesia

<p style=”text-align: center;”><a title=”Klik Untuk Menuju Blog Direktori Salafy Indonesia” href=”http://direktoribloggersalafy.wordpress.com/&#8221; target=”_blank”><img class=”aligncenter size-full wp-image-23″ title=”Blog Direktori Salafy Indonesia” src=”http://direktoribloggersalafy.files.wordpress.com/2012/04/cooltext6832562781.gif&#8221; alt=”" width=”165″ height=”15″ /></a></p> Keterangan : Pada saat mempaste kode diatas ke blog anda, silahkan semua tanda petik  ( ) diketik ulang secara manual agar banner dapat tampil dengan sempurna.

Senin, 18 Februari 2013

ILMU YANG BERMANFAAT

ILMU YANG BERMANFAAT

ILMU YANG BERMANFA’AT
Ilmu yang bermanfaat secara mutlak di dunia dan akhirat  adalah ilmu syar’i. ilmu yang ahlinya dipuji oleh Allah dan Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallama, ilmu ini adalah seperti yang diungkapkan oleh Imam Asy-Syatiby di dalam kitab Al Muwafaqot, “Ilmu yang mu’tabar menurut syara’ adalah ilmu yang mendorong pemiliknya untuk beramal, yang tidak membiarkan pemiliknya berlari mengikuti hawa nafsunya bagaimanapun ia, bahkan ia mengikat pengikutnya dengan muqtadhonya, yang membawa pemiliknya mematuhi aturan-aturannya suka atau tidak suka”.
Di dalam mukadimah ke tujuh dari kitabnya tersebut ia menegaskan, “Sesungguhnya setiap ilmu yang tidak membuat pemiliknya beramal maka di dalam syara’ tidak ada dalil dalam syara’ yang menganggapnya baik”.
Oleh karena itu ulama sejati adalah yang mengamalkan ilmunya dan tampak pada dirinya sifat takut kepada Allah Ta’ala.
{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء}
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Fathir : 28)
Ilmu tidak akan bermanfaat tanpa disertai pengamalan. Allah Ta’ala berfirman menegur orang-orang yang tidak mengerjakan apa yang ia katakan atau ajarkan,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.(Ash Shof : 2-3)
Allah Ta’ala juga mengingkari perbuatan orang-orang Ahli Kitab yang tidak mengamalkan kebaikan yang mereka perintahkan kepada manusia,
{أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ}
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”. (Al Baqoroh : 44)
Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Usamah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu ia berkata,
يؤتى بالرجل يوم القيامة فيلقى فى النار فتنتدلق اقتاب بطنه فيدور بها كما يدور الحمار فى الرحى، فيجتمع إليه أهل النار، فيقولون: يافلان، مالك؟ ألم تكن تأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر؟ فيقول بلى، كنت أمر بالمعروف ولا آتيه وأنهى عن المنكر وأتيه”
“Aku mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Di hari kiamat didatangkan seseorang lalu dicampakkan ke dalam neraka maka terburailah usus-ususnya, dia berputar-putar dengan ususnya seperti seekor keledai berputar-putar pada ikatannya. Maka penghuni neraka mengerumuninya, mereka berkata, ‘Hai fulan,  ada apa denganmu? Bukankah dulu engkau mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran?’ ia menjawab, ‘Benar, aku mengajak kepada kebaikan tetapi aku tidak mengerjakan dan aku melarang dari kemungkaran tetapi aku melakukannya”. (HR. Bukhari : 6/238 dan Muslim : 2989)
Oleh karena itu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama berdo’a kepada Allah memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat,
“اللهم أنى أعوذ بك من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع ، ومن دعاء لا يسمع”
‘Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak puas, dan dari do’a yang tidak didengar”. (HR. Muslim : 1295, At-Tirmidzi dan An Nasai (8/263) dari hadits Zaid bin Arqom)
Sahabat Abu Darda’ rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Yang aku takuti di hari kiamat adalah ketika dikatakan kepadaku, ‘Apakah engkau mengetahui atau tidak? Aku menjawab, ‘Aku mengetahui’. Maka tidak ada satupun ayat dari Kitabullah yang memerintahkan atau melarang melainkan mendatangiku menanyakan perintah dan larangannya. Ayat yang memerintahkan bertanya apakah engkau kerjakan? Dan ayat yang melarang bertanya apakah engkau tinggalkan? Maka Aku berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak puas, dan dari do’a yang tidak didengar”. (diriwayatkan oleh Al Baihaqy, Ad Darimy dan Ibnu Abdil Barr dari beberapa jalan dari Abu Darda’).
Ya Allah .. berapa banyak orang yang mengingatkan manusia kepada Allah sementara dia sendiri lupa kepadaNya. Berapa banyak orang yang menakut-nakuti manusia dengan Allah ternyata dia lancing dan berani menentang Allah. Berapa banyak orang yang mengajak manusia mendekatkan diri kepada Allah, dia malah jauh dari Allah. Berapa banyak orang yang menyeru mengajak manusia kepada Allah sedangkan dia sendiri malah lari dari Allah dan berapa banyak orang yang membaca Kitabullah lalu dia melepaskan dirinya dari ayat-ayat Allah …
Sungguh, jika ilmu tidak memotivasi pemiliknya untuk menjalankan ibadah kepada Allah Jalla wa ‘Ala maka tidak ada nilainya. Jika ilmu tidak membuat pemiliknya dekat kepada Allah tidak ada gunanya. Dan jika ilmu tidak mewariskan kepada pemiiknya al khosy-yah (takut) kepada Allah tidak ada kebaikan padanya.
Jadi ilmu yang mu’tabar secara syar’I itu adalah  ilmu yang mendorong pemiliknya untuk beramal dengan segala perkara yang dapat mendekatkan dia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, berhenti dibatasan yang ditetapkan Allah.
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat serta menjauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat .. amin.